Ada beberapa pengertian tentang sejarah. Pertama sejarah sebagai peristiwa, kedua sejarah sebagai fakta, yaitu yang berasal dari peristiwa yang dikonseptualisasikan menjadi fakta (historical fact). Ketiga sejarah sebagai interpretasi (interpreted history), keempat sejarah sebagai yang disepakati (accepted history). Di dalam konteks ketiga ranah pengertian yang disebut terdahulu, kita dihadapkan pada problematik sejarah. Sedangkan pengertian sejarah dalam arti yang terakhir, dapat dikatakan murni soal kepentingan atau tujuan suatu komunitas memberi makna subyektifnya.
Apa yang kita bahas ini di satu segi membicarakan sejarah sebagai ranah keilmuan dalam segi yang lain kita berbicara sejarah sebagai sesuatu yang hendak dijadikan sarana untuk memenuhi kepentingan (need of interest) suatu komunitas. Dalam konteks ini, sejarah dimasukkan ke ranah subyektif yang disepakati oleh suatu komunitas yang memberikan makna tertentu. Oleh sebab itu pengertian “sejarah yang disepakati” mengandung arti “sejarah yang (resmi) dianggap benar.”
Dalam ranah yang disebut pertama, kedua dan ketiga kita membahas sejarah dalam konteks prinsip dan kaidah keilmuan yang meliputi metode dan teori. Sedangkan yang keempat, pembahasan sejarah diletakkan ke dalam ranah untuk kepentingan mendapatkan makna subyektif suatu komunitas atau masyarakat. Sejarah sebagai peristiwa masa lampau, dalam lingkup pertanyaan kronik: apa, siapa, di mana dan bila, merupakan lingkup keingintahuan kita yang paling awal. Jawab atas pertanyaan yang diperoleh merupakan fakta keras (hard fact) yang tidak boleh salah informasinya dan harus dicatat secara cermat. Dalam lingkup ini dituntut suatu “kepastian sejarah” (historical certanly).
Sejarah sebagai interpretasi harus dapat menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi dan apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat. Sering yang dimaksud dengan dampak adalah makna bagi kehidupan manusia itu sendiri. Di sini tampak terdapat nilai di masyarakat yang menjadi kriteria tertentu yang dapat memengaruhi sejarawan ( dalam arti luas juga peminat sejarah) dalam memberi interpretasi terhadap fakta sejarah. Terutama yang tak dapat dihindarkan adalah nilai subyektif yang hidup pada suatu komunitas tertentu, termasuk pada suatu bangsa. Jika dalam lingkup pertanyaan kronikel dapat dipenuhi unsur kepastian sejarah, dalam kaitan pertanyaan yang terakhir itu tidak jarang didapatkan apa yang disebut sebagai “kewajaran sejarah” (historical fairness).
Sejarah sebagai “ sejarah yang disepakati” (accepted history), adalah pengertian dalam upaya pemaknaan tunggal terhadap fakta atau kisah sejarah tertentu untuk tujuan tertentu misalnya untuk memupuk dan penguatan identitas suatu komunitas atau bangsa. Peter Munz pernah mengemukakan salah satu jawaban atas pertanyaan mengapa orang berminta kepada masa lampau (sejarah). Munz mengatakan, ada asumsi seorang yang mendefinisikan masa lampau itu sebagai identitasnya, itu juga menjadi persepsinya, meskipun sebagai kepalsuan imajinatif, (namun) masa lampau bersama itu mendorong suatu perasaan komunitas (Munz 1997:851).
Sejarah sebagai interpretasi: Asal Usul
Sebagai fakta (sejarah) yang berkaitan dengan kronikel: apa, siapa, di mana dan bila, adalah pertanyaan yang terlebih dahulu harus dijawab. Tentu belum menjadi sejarah apabila rangkaian fakta tidak di(re)konstruksi menjadi kisah sejarah melalui penulisan sejarah (historiografi). Pada umumnya arti yang mendasar tentang sejarah pada masyarakat di kepulauan Indonesia adalah mengenai asal usul. Perhatikan saja kata sejarah yang diambil dari bahasa Arab “syajarotun” yang berarti “pohon”. Struktur pohon apakah diurai mulai dari atas (pucuk) atau bawah (akar) akan memperlihatkan proses biologi. Bandingkan dengan istilah sejarah yang dikenal di dunia barat yang umumnya diambil dari bahasa Yunani (Greek), yakni berasal dari kata istoria. Kata itu kemudian diangkat ke dalam bahasa Inggris menjadi “history” dan Perancis menjadi “l’histoire”.
Arti “istoria” adalah penyelidikan (inquiry) atau penelitian (research). (Garraghan 1957:3).
Sejarah dalam berbagai istilah dalam masyarakat kepulauan Indonesia telah dikenal lama seperti: hikayat, babad, tambo, tarsila. Sejarah dalam pengertian itu pada umumnya mengenai kisah asal-usul atau susur galur. Maka dapat dimengerti pula sejarah dalam lingkup yang dikenal di dalam masyarakat seperti ini adalah sejarah yang dimengerti sebagai yang dihapal, bukan sebagai pengetahuan yang dikritik atau ditanyakan kebenarannya dan apa maknanya.
Memang benar sejarah adalah kisah atau cerita mengenai ikhwal kehidupan masyarakat dengan berbagai aspek dalam dimensi temporal. Jadi yang paling dasar dari pengertian tentang sejarah adalah tentang waktu. Begitulah di dalam masyarakat dan bahasa Arab untuk menyebut sejarah (yang kita kenal) sebagai tarikh (masa).
Unsur utama dari kisah tentang masa lampau adalah asal usul suatu aspek kehidupan masyarakat. Lagi-lagi kita dapati untuk menggambarkan kehidupan sering dipergunakan proses biologis yang umumnya dengan menggunakan metapora. Kehidupan masyarakat dalam sejarah sebagai suatu pertumbuhan dan perkembangan tetumbuhan atau manusia. Jadi dalam penggambaran itu terdapat masa-masa pertumbuhan mulai dari embrio dan cikal bakal, benih, tunas, dan seterusnya. Dalam konteks inilah kita jumpai istilah embrio dan cikal bakal. Sejarah dalam kaitan ini digambarkan sebagai organisme yang hidup mengikuti proses biologis. Hanya saja apabila metaporanya pada makhluk khewan akan didapati pada jenis khewan tertentu yang mengalami tahap kehidupan yang disebut metamorposis seperti yang terjadi pada proses ketika seekor ulat menjadi kupu-kupu. Lalu dalam konteks itu tahap perkembangan sejarah mana yang dapat digambarkan dalam proses seperti itu.
(disunting dari makalah Prof.Dr. Susanto Zuhdi, dosen FIB UI pada acara sarasehan PETA di Kampus Depok, 30 November 2009)
Apa yang kita bahas ini di satu segi membicarakan sejarah sebagai ranah keilmuan dalam segi yang lain kita berbicara sejarah sebagai sesuatu yang hendak dijadikan sarana untuk memenuhi kepentingan (need of interest) suatu komunitas. Dalam konteks ini, sejarah dimasukkan ke ranah subyektif yang disepakati oleh suatu komunitas yang memberikan makna tertentu. Oleh sebab itu pengertian “sejarah yang disepakati” mengandung arti “sejarah yang (resmi) dianggap benar.”
Dalam ranah yang disebut pertama, kedua dan ketiga kita membahas sejarah dalam konteks prinsip dan kaidah keilmuan yang meliputi metode dan teori. Sedangkan yang keempat, pembahasan sejarah diletakkan ke dalam ranah untuk kepentingan mendapatkan makna subyektif suatu komunitas atau masyarakat. Sejarah sebagai peristiwa masa lampau, dalam lingkup pertanyaan kronik: apa, siapa, di mana dan bila, merupakan lingkup keingintahuan kita yang paling awal. Jawab atas pertanyaan yang diperoleh merupakan fakta keras (hard fact) yang tidak boleh salah informasinya dan harus dicatat secara cermat. Dalam lingkup ini dituntut suatu “kepastian sejarah” (historical certanly).
Sejarah sebagai interpretasi harus dapat menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi dan apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat. Sering yang dimaksud dengan dampak adalah makna bagi kehidupan manusia itu sendiri. Di sini tampak terdapat nilai di masyarakat yang menjadi kriteria tertentu yang dapat memengaruhi sejarawan ( dalam arti luas juga peminat sejarah) dalam memberi interpretasi terhadap fakta sejarah. Terutama yang tak dapat dihindarkan adalah nilai subyektif yang hidup pada suatu komunitas tertentu, termasuk pada suatu bangsa. Jika dalam lingkup pertanyaan kronikel dapat dipenuhi unsur kepastian sejarah, dalam kaitan pertanyaan yang terakhir itu tidak jarang didapatkan apa yang disebut sebagai “kewajaran sejarah” (historical fairness).
Sejarah sebagai “ sejarah yang disepakati” (accepted history), adalah pengertian dalam upaya pemaknaan tunggal terhadap fakta atau kisah sejarah tertentu untuk tujuan tertentu misalnya untuk memupuk dan penguatan identitas suatu komunitas atau bangsa. Peter Munz pernah mengemukakan salah satu jawaban atas pertanyaan mengapa orang berminta kepada masa lampau (sejarah). Munz mengatakan, ada asumsi seorang yang mendefinisikan masa lampau itu sebagai identitasnya, itu juga menjadi persepsinya, meskipun sebagai kepalsuan imajinatif, (namun) masa lampau bersama itu mendorong suatu perasaan komunitas (Munz 1997:851).
Sejarah sebagai interpretasi: Asal Usul
Sebagai fakta (sejarah) yang berkaitan dengan kronikel: apa, siapa, di mana dan bila, adalah pertanyaan yang terlebih dahulu harus dijawab. Tentu belum menjadi sejarah apabila rangkaian fakta tidak di(re)konstruksi menjadi kisah sejarah melalui penulisan sejarah (historiografi). Pada umumnya arti yang mendasar tentang sejarah pada masyarakat di kepulauan Indonesia adalah mengenai asal usul. Perhatikan saja kata sejarah yang diambil dari bahasa Arab “syajarotun” yang berarti “pohon”. Struktur pohon apakah diurai mulai dari atas (pucuk) atau bawah (akar) akan memperlihatkan proses biologi. Bandingkan dengan istilah sejarah yang dikenal di dunia barat yang umumnya diambil dari bahasa Yunani (Greek), yakni berasal dari kata istoria. Kata itu kemudian diangkat ke dalam bahasa Inggris menjadi “history” dan Perancis menjadi “l’histoire”.
Arti “istoria” adalah penyelidikan (inquiry) atau penelitian (research). (Garraghan 1957:3).
Sejarah dalam berbagai istilah dalam masyarakat kepulauan Indonesia telah dikenal lama seperti: hikayat, babad, tambo, tarsila. Sejarah dalam pengertian itu pada umumnya mengenai kisah asal-usul atau susur galur. Maka dapat dimengerti pula sejarah dalam lingkup yang dikenal di dalam masyarakat seperti ini adalah sejarah yang dimengerti sebagai yang dihapal, bukan sebagai pengetahuan yang dikritik atau ditanyakan kebenarannya dan apa maknanya.
Memang benar sejarah adalah kisah atau cerita mengenai ikhwal kehidupan masyarakat dengan berbagai aspek dalam dimensi temporal. Jadi yang paling dasar dari pengertian tentang sejarah adalah tentang waktu. Begitulah di dalam masyarakat dan bahasa Arab untuk menyebut sejarah (yang kita kenal) sebagai tarikh (masa).
Unsur utama dari kisah tentang masa lampau adalah asal usul suatu aspek kehidupan masyarakat. Lagi-lagi kita dapati untuk menggambarkan kehidupan sering dipergunakan proses biologis yang umumnya dengan menggunakan metapora. Kehidupan masyarakat dalam sejarah sebagai suatu pertumbuhan dan perkembangan tetumbuhan atau manusia. Jadi dalam penggambaran itu terdapat masa-masa pertumbuhan mulai dari embrio dan cikal bakal, benih, tunas, dan seterusnya. Dalam konteks inilah kita jumpai istilah embrio dan cikal bakal. Sejarah dalam kaitan ini digambarkan sebagai organisme yang hidup mengikuti proses biologis. Hanya saja apabila metaporanya pada makhluk khewan akan didapati pada jenis khewan tertentu yang mengalami tahap kehidupan yang disebut metamorposis seperti yang terjadi pada proses ketika seekor ulat menjadi kupu-kupu. Lalu dalam konteks itu tahap perkembangan sejarah mana yang dapat digambarkan dalam proses seperti itu.
(disunting dari makalah Prof.Dr. Susanto Zuhdi, dosen FIB UI pada acara sarasehan PETA di Kampus Depok, 30 November 2009)
Komentar