Runtutan perdebatan seakan telah menjadi makanan hari-hari ketika kita menonton televisi dan membaca surat kabar. Semua hal yang menjadi buah bibir selalu saja diperdebatkan, entah itu real maupun imajiner. Lihat saja media pemberitaan yang sering kita saksikan tidak terlepas dari tema perdebatan yang membuat kepala jadi pening dan hati lebih meracau. Dari mulai perdebatan masalah negara yang memiliki sub tema politik, hukum, demokrasi dan sejenisnya sampai pada masalah yang lingkupnya sangat frivat. Aib keluarga seakan menjadi sebuah bahan diskusi yang sangat laku, bahkan rentetan iklan pun seakan berderet panjang dan menyita waktu juga melelahkan bagi yang menyaksikannya, seperti kita.
Tengok saja salahsatu kasus yang tengah menelikung keadilan dan kebenaran diranah hukum. Kasus mafia hukum yang melebar menjadi mafia perpajakan. Dan sepertinya kita harus rela untuk mendengarnya, meski kebenarannya masih samar samar. Seakan kita dipaksa untuk mendorong opini kita menjadi apa yang mereka harapkan. Untuk lebih memancing emosi kita, tentu fakta pun kerap dimunculkan, meski terkadang berupa fakta yang didramatisir dan tidak komprehensif. Kesan fakta pun bisa menjadi sebuah fakta yang dipaksakan. Entah itu seratus persen relevan atau hanya sekedar komplement yang substansinya masih memungkinkan untuk diragukan.
Sampai hari ini mungkin publik tidak akan mengetahui fakta yang sesungguhnya. Dan seakan media pun senang dengan kondisi publik yang demikian, kebingungan. Yaitu kondisi yang memaksa publik untuk terus mengikuti arah dan pola pikir yang katanya disebut para "ahli". Tapi apa benar para ahli itu berbicara dengan bidang keilmuanya yang dia kuasai benar. Bingung juga sebenarnya kalau memperhatikan berbagai argumen dan ribuan statement yang dilontarkan oleh para ahli. Seperti halnya ahli keuangan akan berbicara diranah politik, tentu ini tidak menjadi sesuatu hal yang haram, lantas apakah kemampuannya itu adalah dibidang politik?. Tentu ini akan kontradiktif dengan titel yang disandangnya sebagai seorang ekonom. Politik memang arena yang sangat terbuka, lapangan luas yang sangat free. Seperti halnya alun alun kota yang hampir semua kegiatan bisa tumpah ruah disana, dari mulai kegiatan permainan anak anak sampai pada kegiatan transaksi ekonomi kambuhan. Apa benar dunia politik di negeri ber-etika ini sudah sangat jauh dari semangat dasar politik yaitu suatu tatanan yang bertujuan untuk mewujudkan welfare state?. Dunia politik terbaru mungkin dunia politik yang mengedepankan unsur kepentingan pribadi dan sebatas kebutuhan perut dan ego yang terlalu tinggi. Sehingga mindsett Plato dan maestro politik lainnya sebagai peletak dasar politik telah banyak dikhianati.
Politik tidak lebih sebagai aktifitas saling melindungi antar teman, dan menyingkirkan secara perlahan satu persatu lawan yang berbeda seragam. Isu yang sering muncul bisa digunakan sebagai alat untuk melindungi kawan dan menyudutkan lawan, terlepas benar atau salah. Bahkan isu yang muncul sering hanya sebatas retorika yang jauh dari unsur kebenaran, atau saya lebih suka mengatakan bahwa retorika tersebut sebagai retorika fatamorgana. Retorika yang dibalut dengan kalimat-kalimat bijak dan terkesan keren, bahkan lebih puitis dan etis. Sehingga yang mendengarnya seakan terbuai dan terlena.
Ada satu tokoh yang sebelum dia terjerumus di dunia politik sangat saya kagumi, meski titelnya tidak terlalu mentereng tapi dia sungguh cerdas dan luas pengetahuannya. Tapi setelahnya saya sungguh tidak simpatik lagi dengan yang dia wacanakan. Atau ada juga seorang guru besar yang ketika saya kuliah, bukunya sempat mati matian saya cari. Dalam bukunya yang tipis tapi berisi itu dia banyak melontarkan pandangannya tentang ilmu yang dia kuasai sebagai profesor ekonomi. Tapi sekarang sungguh saya tidak simpatik lagi, pandangannya banyak memutarbalikan fakta, dan bahkan telah melenceng jauh dari bidang ilmu yang dikuasainya. Lantas dari kedua tokoh tersebut saya bertanya "apakah semua yang menjadi public figure yang saya kagumi dulu jika telah masuk dalam lingkaran politik akan mengikis perlahan ketajaman ilmiahnya?"
Mungkin pandangan ini terlalu prematur di wacanakan. Tapi belajar dari beberapa kolega saya yang telah berada dilingkaran politik, wacana ini mungkin juga benar. Ketika profesor ekonomi berbicara masalah politik dan hukum, tentu ini sedikit aneh. Meskipun di fakultas ekonomi mata kuliah hukum dan sosiologi politik pun diajarkan meski hanya sebagai pelengkap karena seorang sarjana ekonomi tentu tidak disiapkan sebagai ahli hukum atau ahli politik. Sungguh seorang ekonom yang namanya telah besar, rela masuk ke dunia penuh intrik dan sengaja mengikis ketajaman anlisanya demi membela sebuah golongan dan kekuasaan. Dia juga rela menyembunyikan ilmunya dan membiarkan kebenaran ilmunya menjadi beku. Padahal bukankah seorang sarjana ketika wisuda harus mengucapkan janji untuk menjunjung tinggi kebenaran sesuai bidang ilmu yang dimilikinya?> Sungguh kondisi yang patut diselami lebih arif dan bahkan harus pula difahami dengan menggunakan keadaban yang bersifat lokal. Atau dalam istilah kawan saya "menyelami dengan keadaban lokal".
Tengok saja salahsatu kasus yang tengah menelikung keadilan dan kebenaran diranah hukum. Kasus mafia hukum yang melebar menjadi mafia perpajakan. Dan sepertinya kita harus rela untuk mendengarnya, meski kebenarannya masih samar samar. Seakan kita dipaksa untuk mendorong opini kita menjadi apa yang mereka harapkan. Untuk lebih memancing emosi kita, tentu fakta pun kerap dimunculkan, meski terkadang berupa fakta yang didramatisir dan tidak komprehensif. Kesan fakta pun bisa menjadi sebuah fakta yang dipaksakan. Entah itu seratus persen relevan atau hanya sekedar komplement yang substansinya masih memungkinkan untuk diragukan.
Sampai hari ini mungkin publik tidak akan mengetahui fakta yang sesungguhnya. Dan seakan media pun senang dengan kondisi publik yang demikian, kebingungan. Yaitu kondisi yang memaksa publik untuk terus mengikuti arah dan pola pikir yang katanya disebut para "ahli". Tapi apa benar para ahli itu berbicara dengan bidang keilmuanya yang dia kuasai benar. Bingung juga sebenarnya kalau memperhatikan berbagai argumen dan ribuan statement yang dilontarkan oleh para ahli. Seperti halnya ahli keuangan akan berbicara diranah politik, tentu ini tidak menjadi sesuatu hal yang haram, lantas apakah kemampuannya itu adalah dibidang politik?. Tentu ini akan kontradiktif dengan titel yang disandangnya sebagai seorang ekonom. Politik memang arena yang sangat terbuka, lapangan luas yang sangat free. Seperti halnya alun alun kota yang hampir semua kegiatan bisa tumpah ruah disana, dari mulai kegiatan permainan anak anak sampai pada kegiatan transaksi ekonomi kambuhan. Apa benar dunia politik di negeri ber-etika ini sudah sangat jauh dari semangat dasar politik yaitu suatu tatanan yang bertujuan untuk mewujudkan welfare state?. Dunia politik terbaru mungkin dunia politik yang mengedepankan unsur kepentingan pribadi dan sebatas kebutuhan perut dan ego yang terlalu tinggi. Sehingga mindsett Plato dan maestro politik lainnya sebagai peletak dasar politik telah banyak dikhianati.
Politik tidak lebih sebagai aktifitas saling melindungi antar teman, dan menyingkirkan secara perlahan satu persatu lawan yang berbeda seragam. Isu yang sering muncul bisa digunakan sebagai alat untuk melindungi kawan dan menyudutkan lawan, terlepas benar atau salah. Bahkan isu yang muncul sering hanya sebatas retorika yang jauh dari unsur kebenaran, atau saya lebih suka mengatakan bahwa retorika tersebut sebagai retorika fatamorgana. Retorika yang dibalut dengan kalimat-kalimat bijak dan terkesan keren, bahkan lebih puitis dan etis. Sehingga yang mendengarnya seakan terbuai dan terlena.
Ada satu tokoh yang sebelum dia terjerumus di dunia politik sangat saya kagumi, meski titelnya tidak terlalu mentereng tapi dia sungguh cerdas dan luas pengetahuannya. Tapi setelahnya saya sungguh tidak simpatik lagi dengan yang dia wacanakan. Atau ada juga seorang guru besar yang ketika saya kuliah, bukunya sempat mati matian saya cari. Dalam bukunya yang tipis tapi berisi itu dia banyak melontarkan pandangannya tentang ilmu yang dia kuasai sebagai profesor ekonomi. Tapi sekarang sungguh saya tidak simpatik lagi, pandangannya banyak memutarbalikan fakta, dan bahkan telah melenceng jauh dari bidang ilmu yang dikuasainya. Lantas dari kedua tokoh tersebut saya bertanya "apakah semua yang menjadi public figure yang saya kagumi dulu jika telah masuk dalam lingkaran politik akan mengikis perlahan ketajaman ilmiahnya?"
Mungkin pandangan ini terlalu prematur di wacanakan. Tapi belajar dari beberapa kolega saya yang telah berada dilingkaran politik, wacana ini mungkin juga benar. Ketika profesor ekonomi berbicara masalah politik dan hukum, tentu ini sedikit aneh. Meskipun di fakultas ekonomi mata kuliah hukum dan sosiologi politik pun diajarkan meski hanya sebagai pelengkap karena seorang sarjana ekonomi tentu tidak disiapkan sebagai ahli hukum atau ahli politik. Sungguh seorang ekonom yang namanya telah besar, rela masuk ke dunia penuh intrik dan sengaja mengikis ketajaman anlisanya demi membela sebuah golongan dan kekuasaan. Dia juga rela menyembunyikan ilmunya dan membiarkan kebenaran ilmunya menjadi beku. Padahal bukankah seorang sarjana ketika wisuda harus mengucapkan janji untuk menjunjung tinggi kebenaran sesuai bidang ilmu yang dimilikinya?> Sungguh kondisi yang patut diselami lebih arif dan bahkan harus pula difahami dengan menggunakan keadaban yang bersifat lokal. Atau dalam istilah kawan saya "menyelami dengan keadaban lokal".
Komentar